Latar Belakang Kasus
Kasus penangkapan seorang remaja di Batu yang di duga terlibat dalam kegiatan teroris baru-baru ini mengejutkan masyarakat. Remaja tersebut, seorang pria berusia 19 tahun, di tangkap oleh pihak berwenang setelah menunjukkan indikasi kuat keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas radikal. Setelah masa penyelidikan intensif oleh Densus 88, unit anti-terorisme Indonesia.
Indikasi awal yang menimbulkan kecurigaan terhadap remaja ini berawal dari aktivitasnya di grup media sosial lintas negara. Pihak berwenang menemukan bahwa remaja tersebut aktif berkomunikasi dengan individu-individu yang sudah masuk dalam daftar pengawasan terkait ekstremisme. Melalui interaksi ini, ia di duga mendapat pemahaman dan doktrin radikal yang mendorongnya untuk berpotensi melakukan aksi kekerasan.
Identitas remaja ini terungkap bersamaan dengan penangkapan. Dia berasal dari keluarga sederhana, kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh harian. Dalam lingkungan sekolah, dia dikenal sebagai siswa yang cerdas namun cenderung menyendiri dan kurang bersosialisasi. Dia cukup aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler IT, yang memberikan dasar kuat dalam teknologi dan komunikasi digital. Ironi muncul ketika keseriusannya dalam ilmu IT digunakan untuk terhubung dengan kelompok radikal secara online.
Sebelum terpapar radikalisme, kehidupan sosial remaja tersebut tergolong normal bagi usianya. Namun, peralihan cepat dari aktivitas sekolah dan ketertarikan pada teknologi ke jalan radikal menunjukkan biaya sosial dan psikologis yang tidak sedikit. Demikian, latar belakang dan perubahan perilaku drastis remaja ini perlu mendapat perhatian khusus bagi keluarga, sekolah, dan pihak berwenang dalam upaya pencegahan terorisme di kalangan muda.
Peran Media Sosial dalam Radikalisasi
Pada era digital ini, media sosial telah mengalami transformasi signifikan menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan berbagai bentuk ideologi, termasuk ideologi radikal. Hal ini di sebabkan oleh kemampuan platform media sosial untuk menjangkau audiens dalam skala global tanpa batasan geografis. Dalam kasus remaja terduga teroris di Batu, media sosial khususnya grup lintas negara menjadi sarana utama terpaparnya ideologi radikal.
Aneka platform media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, Telegram, dan lain-lain, sering di gunakan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota baru. Pemanfaatan grup tertutup atau rahasia memungkinkan kelancaran penyebaran radikalisme tanpa terdeteksi oleh otoritas. Kombinasi dari kebebasan berbicara, anonimitas, dan kemampuan berbagi informasi secara instan menjadikan media sosial sebagai alat yang sangat efektif bagi kelompok radikal.
Salah satu strategi recruitment yang lazim di gunakan adalah dengan memulai komunikasi secara tidak langsung melalui konten yang tampak tidak mencurigakan. Konten seperti artikel atau video yang mengetengahkan isu-isu sosial dan politik sering kali menjadi perangkap awal. Secara bertahap, pengguna yang tertarik pada topik tersebut akan di bawa ke dalam diskusi lebih mendalam yang memperkenalkan ideologi radikal secara bertahap.
Dalam banyak kasus, komunikasi yang lebih personal kemudian di lakukan menggunakan aplikasi pesan instan. Di sana, calon anggota di perkenalkan dengan doktrin lebih intensif. Kelompok radikal sering kali memanfaatkan teknik psikologis, seperti menciptakan rasa kebersamaan dan tujuan bersama, serta memanipulasi persepsi korban terhadap dunia luar.
Media sosial juga memungkinkan berbagi konten visual dan audio, yang memiliki kekuatan emosional tinggi untuk mempengaruhi dan membentuk opini. Video propaganda, rekaman pidato, dan konten grafis yang dirancang secara profesional dapat membangun narasi kuat dan menggugah emosi audiens. Konten-konten ini sering kali di distribusikan di platform yang sulit diawasi, menciptakan tantangan besar bagi penegak hukum dalam menanggulangi penyebaran radikalisme.
Dampak Radikalisasi pada Remaja
Radikalisasi pada remaja memiliki implikasi yang serius terhadap kesejahteraan psikologis dan sosial mereka. Proses radikalisasi sering kali di mulai dengan perubahan perilaku yang signifikan, di mana remaja yang sebelumnya aktif dan sosial menjadi tertutup dan menarik diri dari interaksi sosial. Peningkatan isolasi ini dapat di lihat baik di rumah maupun di sekolah, menyebabkan kekhawatiran di kalangan orang tua, guru, dan teman sekelas mereka.
Secara psikologis, radikalisasi dapat menanamkan perasaan ketidakpercayaan, kebencian, dan emosi negatif lainnya yang merusak keseimbangan emosional remaja. Selain itu, mereka mungkin mulai menunjukkan pola pikir yang ekstremis, menganggap pandangan atau kelompok yang berbeda sebagai ancaman. Hal ini dapat menyebabkan konflik dalam keluarga, di mana nilai-nilai dan pandangan anak mulai bertentangan dengan prinsip-prinsip keluarga. Dampak ini tidak hanya merugikan remaja secara individu tapi juga dapat mempengaruhi dinamika keluarga keseluruhan.
Di lingkungan sekolah, perubahan perilaku yang di sebabkan oleh radikalisasi dapat mempengaruhi hubungan remaja dengan teman sebaya dan guru. Remaja yang terpapar ideologi radikalisme mungkin mengalami penurunan kinerja akademis dan menunjukkan perilaku agresif atau menantang otoritas. Ini bisa memperburuk isolasi sosial mereka, karena mereka lebih mungkin untuk menarik diri dari kegiatan kelompok atau diskusi kelas, merasa tidak nyaman atau tidak aman dalam lingkungan yang heterogen.
Dampak sosial ini, jika tidak di tangani dengan tepat waktu, dapat memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius. Remaja yang tetap berada dalam pengaruh radikal berpotensi besar untuk mengembangkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan kronis, dan depresi. Tanpa intervensi yang memadai, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan stabil di masa dewasa, serta menghadapi tantangan dalam memasuki dunia kerja dan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.